Nama : Ainun
Nuronniyyah
NIM : 201210360311157
Semester/Kelas : IV/A
Tugas UTS Mata Kuliah
Politik Luar Negeri Indonesia
Pengertian
Umum dan Kelahiran Politik Luar Negeri Indonesia
Hukum Internasional dewasa ini semakin banyak mengatur
persoalan hubungan antarbangsa dan antarnegara dengan perjanjian-perjanjian.
Sejak dahulu perjanjian Internasional dalam bentuknya yang embrionik telah
digunakan untuk mengatur hubungan-hubungan dan persoalan antarbangsa atau
antarnegara. Peda permulaan abad ini ditemukan tulisan Sumeria yang mengisahkan
tentang suatu perjanjian yang diadakan sekitar tahun 3100 sebelum Masehi antara
Negara-negara kota Lagash dan Unna, keduanya di Mesopotamia, tentang penemuan
tapal batas.
Memang,
untuk dapat berhubungan secara bebas dalam dunia internasional sehingga dapat
juga membuat perjanjian internasional, perlu Negara itu berdaulat bukan saja
kedalam akan tetapi juga ke luar. Perjanjian internasional selanjutnya jika
diartikan secara luas merupakan nama atau jenis dari perjanjian internasional
yang beraneka ragam namanya, seperti treaty, convention, charter, convenant,
protocol, modus Vivendi, dan lain-lain. Sedang dalam arti sempit biasanya
dipakai dalam hal-hal yang mengatur politik secara keseluruhan, seperti “treaty
of peace” dan “treaty of commerce”.[1]
Selanjutnya
dalam membuat perjanjian ini bukannya kepentingan internasional yang menjadi
pedoman, melainkan kepentingan nasional kedua Negara tersebut. Namun, setiap
Negara, dalam entitasnya menetapkan kebijakan yang mengatur hubungannya dengan
dunia internasional. Kebijakan tersebut sekaligus berfungsi menjelaskan
keterlibatannya dalam isu-isu internasional. Kebijakan Negara baik domestic
maupun internasional selalu didasarkan pada usaha memelihara dan mewakili
kepentingan nasional. Dengan demikian kepentingan nasional terbentuk dari
kepentingan domestic. Seketika kepentingan nasional itu dibawa keluar maka saat
itu pula kepentingan nasional dikemas dalam politik luar negeri. Masing-masing
Negara memiliki politik dan kebijakan luar negeri yang particular, walaupun
barangkali sejumlah Negara memiliki kemiripan.
Kemudian
adanya suatu fase revolusi yakni perjuangan Negara baru merdeka agar menjadi
Negara independen bebas intervensi asing, maka politik luar negeri diarahkan
untuk perbaikan ekonomi. Dan Indonesia berusaha keras untuk menjaga
kenetralannya diantara kedua blok yang saling bertikai. Didalam sini politik
domestic berperan penting dalam pragmatism politik luar negeri Indonesia, sebagaimana
yang dicetuskan oleh Henry Kissinger dan Jack C Plano, dimana politik luar
negeri merupakan kelanjutan dari politik domestic. Ini menegaskan pada era
revolusi social Indonesia, politik luar negeri juga memainkan peran dalam membentuk
dan mempengaruhi kebijakan luar negeri. Dan keberadaan fenomena ini tidak dapat
dielakkan dan jika dielakkan, maka yang terjadi adalah pergolakan internal yang
mengancam kekuasaan yang sedang berkuasa. Contoh kasus seperti Soekarno vs
politik domestic pada era 1960-an.
Politik
luar negeri Indonesia adalah transformasi kepentingan nasional. Sedangkan
kepentingan nasional bersifat fluktuatif dan dinamis sebagai respon terhadap
peristiwa penting dunia. Salah satu peristiwa yang paling momentum adalah kehadiran
perang dingin. Namun, saat itu arah politik Indonesia adalah netral dan tidak
berusaha membentuk blok ketiga yang ideologinya berlawanan dengan dua blok
raksasa Amerika-Uni Soviet. Hal ini sesuai dengan penjelasan Moh. Hatta di
depan siding KNIP. Didalamnya beliau menyatakan bahwa politik Indonesia tidak
dapat diarahkan oleh blok manapun yang membawa kepentingan nasional
masing-masing. Sebaliknya, arah politik luar negeri Indonesia merupakan
sinergisitas kepentingan nasional, tujuan nasional dan konfigurasi geopolitik,
dan sejarah nasionalnya yang rentan oleh factor internal dan eksternal. Rosenau
dan Roeslan Abdulgani, sepakat bahwa politik yang demikian itu adalah merupakan
turunan dari politik dalam negeri. Oleh karena itu, manakala kepentingan dalam
negeri mengalami pergeseran, tidak menutup kemungkinan arah politik luar negeri
akan selamanya bersifat statis. Hanya saja beberapa nilai mengalami daptasi.
Adapun
factor internal dan eksternal telah mempengaruhi karakteristik politik luar
negeri pada setiap periode pemerintahan. Presiden Seoharto telah mewarisi
pengalaman domestic akibat keboborokan ekonomi, disintegrasi, dan kudeta
politik sehingga politik luar negeri Indonesia ketika itu lebih terkonsentrasi
pada pemulihan ekonomi dan kepemimpinan politik. Memasuki fase ketiga rezim
Soeharto mengakhiri kekuasaannya, adapun hubungan diplomatic antara Cina dan
Indonesia mengalami proses normalisasi mengingat selama kurang lebih tiga puluh
tahun, keduanya berada dalam hubungan yang tidak kondusif. Gerbang kerjasama
terutama di bidang ekonomi dan perdagangan mulai ditingkatkan dan menjadi
symbol bahwa kedua Negara berada pada sebuah babak baru dalam hubungan
diplomatic. Berbeda sekali dengan masa
kepresidenan Susilo Bambang Yudoyono. Politik luar negeri pada masa
pemerintahan beliau, lebih berfokus pada pemulihan nama baik Indonesia serta
peningkatan peran diplomasi Indonesia di organisasi Internasional mengenai
berbagai isu-isu internasional sekaligus perbaikan mutu birokrasi. Sehingga
peran presiden dalam diplomasi politik menjadi salah satu karakter politik luar
negeri Indonesia.
Kepentingan
dan tujuan Revolusi Indonesia tidak hanya terbatas pada kepentingan dan tujuan
nasional daripada revolusi kemerdekaan Indonesia, tetapi juga pada kepentingan
dan tujuan internasional, yaitu membangun dunia kembali dunia baru yang bebas
dari dunia sosialis. Hal ini disebabkan karena Indonesia tidak bias terlepas
dari perkembangan masyarakat dunia pada umumnya,juga sebgaimana seringa
dikatakan bahwa revolusi Indonesia merupakan bagian dari revolusi dunia. Seperti
yang telah diketahui bahwa sejarah politik luar Negeri Indonesia dari waktu ke
waktu mengalami perkembangan sesuai dengan sejarah pemerintahan yang sedang
berkuasa. Hal tersebut lebih bersifat operasional, artinya dalam pelaksanaan
menyesuaikan dengan kondisi geopolitim internasional saat itu.
Apabila
setiap Negara, dalam entitasnya menetapkan kebijakan yang mengatur hubungannya
dengan dunia internasional maka kebijakan tersebut sekaligus berfungsi
menjelaskan keterlibatannya dalam isu-isu internasional. Kebijakan Negara baik
domestic maupun internasional selalu didasarkan pada usaha memelihara dan
mewakili kepentingan nasional. Seketika kepentingan nasional itu dibawa keluar
maka saat itu pula kepentingan nasioanal dikemas dalam politik luar negeri.
Pelaksanaan
politik luar negeri Indonesia yang berlandaskan pancasila, mengatur kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam memberikan garis-garis besar mengarahkan
kebijakan luar negerinya. Oleh karena itu, kepentingan nasional Indonesia
secara eksplisit termuat dalam psal-pasal UUD 1945. Disisni Pancasiala sebagai
landasan konstitusional politik luar negeri Indonesia menjadi salah satu
variable yang membentuk politik luar negeri Indonesia. Kelima sila pancasila
adalah pedoman dsar pelaksanaan kehidupan bernegara dan bangsa yang ideal.
Sehingga politik luar negeri sekurang-kurangnya merupakan cermindri pancasila.
Kedua landasan ini, bersifat permanen dan tidak dapat digantikan. Adapun
pengalaman sejarah menyebabkan UUD 1945 tergantikan oleh UUD 1950 adalah lebih
merupakan suatu pergeseran ideology dan cita-cita Indonesia yang saat itu
berada di tengah-tengah blok Timur-Barat.[2]
Pencarian
bentuk politik luar negeri setelah kemerdekaan pada era revolusi nasional pada
masa kepresidenan Soekarno, politik luar negeri dijiwai oleh kekuatan
bersenjata dan diplomasi. Kedua cara tersebut dikemudi oleh dua figure yang
sama sekali berbeda dan bersaing. Presiden Soekarno menegaskan untuk
menyelesaikan konflik dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya dukungan
internasional disamping juga mengandalkan kekuatan militer angkatan bersenjata
untuk menyelesaikan konflik. Yang kedua, supaya konflik diselesaikan melalui
diplomasi. Meskipun esensi kedua cara tersebut pada prakteknya berbeda, tetapi
kedua taktik tersebut dinilai saling mendukung dan sinergis.
Berkaitan
dengan arah kebijakan politik luar negeri Indonesia, Moh. Hatta menggunakan
istilah politik luar negeri Indonesia semestinya bebas aktif dan proses
barat-timur bukan lagi menjadi titik temu yang esensial. Pendapat Moh. Hatta
ini kemudian dianggap berseberangan dengan cita-cita Soekarno pada waktu itu. Hanya
saja, dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia pemahaman terhadap politik
luar negeri yang bebas dan aktif, senantiasa didefinisikan kembali sesuai
dengan keinginan yang berkepentingan saat itu. Walaupun terdapat perbedaan
penafsiran terhadap arti politik luar negeri yang bebas dan efektif, tetapi
selalu terdapat asumsi kalau dunia luar yang bersikap memusuhi, atau paling
tidak membawa kemungkinan bahaya.
Hakekat
politik luar negeri pada era Soekarno, awal tahun 1950-an, Indonesia
memperlihatkan diri seperti apa yang menjadi pidato Moh. Hatta, secara fisik
sebagai suatu Negara yang tidak memihak kepada salah satu blok yang terlibat
dalam perang dingin. Artinya Indonesia sedini mengkin bersikap netral, tetapi
bukan berarti Indonesia bekerja secara aktif untuk perdamaian dunia dan
peredaan ketegangan internasional. Meskipun Indonesia sering dianggap ekslusif
condong ke barat, tetapi Indonesia menolak menyokong Amerika dalam perang
Korea.
Jadi
Tanggapan Indonesia itu bias ditafsirkan sebagai adanya perasaan takut akan
dominasi asing yang baru, yang diakibatkan adanya perasaan baru bebas dari
kolonialisme yang bercampur-baur dengan dampak pertentangan perang dingin yang
terjadi pada saat itu. Akan tetapi berada di tengah-tengah dua garis jauh lebih
sulit dari pada memilih salah satu pihak yang sedang bertikai. Realitas
mengatakan siapapun yang berada ditengahnya, cenderung terus-menerus akan
tertarik ke salah satu poros.
Politik
luar negeri untuk membangun kekuatan ekonomi, dari sini Indonesia mengalami
kejayaan pembangunan dan kemajuan ekonomi di Indonesia di masa pemerintahan
Soeharto. Politik luarnegeri sepenuhnya di fokuskan untuk pembanguna nasional
di berbagai sector. Melalui program Repelita, Indonesia mampu meningkatkan
ekonomi dan pembangunan dalam negeri. Pada tahun 1984, Indonesia mengalami
kemajuan ekonomi yang sangat pesat dan menjadi Negara pengekspor beras terbesar
sehingga mendapat penghargaan dari FAO. Disini Soeharto dianggap berjasa besar
dalam menyelesaikan masalah hutang dan pinjama luar negeri ditimbulkan oleh
pemerintaha Soekarno. Untuk mengatasi hutang-hutang tersebut.
Secara
regional, Indonesia berhasil mendirikan ASEAN yang selain untuk menjalin
kerjasama dalam bidang ekonomi, social, budaya dan keamanan juga berfungsi
untuk mengakhiri konfrontasi dengan Negara-negara di Asia Tenggara. Soeharto
melakukan usaha yang cukup penting dalam sejarah politik luar negeri RI saat
itu. Keberhasilan dalam membentuk ASEAN berdampak positif bagi pengakuan dunia
internasional terhadap eksistensi Indonesia sebagai Negara berkembang yang
berhasil mencetuskan organisasi regional yang cukup penting secara
internasional.
Sebelum
bergabung dengan ASEAN hamper semua politik luar negeri Indonesia pada saat itu
menyimpang dari kebijakan politik luar negeri bebas aktif. Hal itu membuktikan
bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara yang pragmatis. Indonesia akan
menjalin kerjasama dengan Negara-negara yang akan mendukung kepentingan
nasionalnya. Di sisi lain, Indonesia juga menjalin hubungan dengan Uni Soviet
guna memperoleh senjata dan peralatan militer untuk melawan belanda. Dalam
kedaan seperti itu, Indonesia harus waspada agar pengaruh kedua Negara tersebut
tidak sampai berimbas negative bagi urusan dalam negerinya.
Dan
bagaimanapun juga, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Soekarno pada saat itu
dapat menjadi salah satu pembelajaran bagi perkembangan politik luar negeri
Indonesia. Penyimpangan-penyimpangan yang pernah terjadi setidaknya tidak
pernah diulangi lagi, karena setiap tindakan yang dilakukan dapat berdampak
negative bagi Indonesia pada nantinya. Dengan demikian, diharapkan dinamika
politik luar negeri Indonesia menjadi lebih terarah dan teratur, sehingga akan
mempermudah tercapainya kepentingan yang diperjuangkan.