Senin, 14 April 2014

Politik Luar Negeri Indonesia (Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia)

Nama : Ainun Nuronniyyah
NIM : 201210360311157
Semester/Kelas : IV/A
Tugas UTS Mata Kuliah Politik Luar Negeri Indonesia


Pengertian Umum dan Kelahiran Politik Luar Negeri Indonesia
          Hukum Internasional dewasa ini semakin banyak mengatur persoalan hubungan antarbangsa dan antarnegara dengan perjanjian-perjanjian. Sejak dahulu perjanjian Internasional dalam bentuknya yang embrionik telah digunakan untuk mengatur hubungan-hubungan dan persoalan antarbangsa atau antarnegara. Peda permulaan abad ini ditemukan tulisan Sumeria yang mengisahkan tentang suatu perjanjian yang diadakan sekitar tahun 3100 sebelum Masehi antara Negara-negara kota Lagash dan Unna, keduanya di Mesopotamia, tentang penemuan tapal batas.
Memang, untuk dapat berhubungan secara bebas dalam dunia internasional sehingga dapat juga membuat perjanjian internasional, perlu Negara itu berdaulat bukan saja kedalam akan tetapi juga ke luar. Perjanjian internasional selanjutnya jika diartikan secara luas merupakan nama atau jenis dari perjanjian internasional yang beraneka ragam namanya, seperti treaty, convention, charter, convenant, protocol, modus Vivendi, dan lain-lain. Sedang dalam arti sempit biasanya dipakai dalam hal-hal yang mengatur politik secara keseluruhan, seperti “treaty of peace” dan “treaty of commerce”.[1]
Selanjutnya dalam membuat perjanjian ini bukannya kepentingan internasional yang menjadi pedoman, melainkan kepentingan nasional kedua Negara tersebut. Namun, setiap Negara, dalam entitasnya menetapkan kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia internasional. Kebijakan tersebut sekaligus berfungsi menjelaskan keterlibatannya dalam isu-isu internasional. Kebijakan Negara baik domestic maupun internasional selalu didasarkan pada usaha memelihara dan mewakili kepentingan nasional. Dengan demikian kepentingan nasional terbentuk dari kepentingan domestic. Seketika kepentingan nasional itu dibawa keluar maka saat itu pula kepentingan nasional dikemas dalam politik luar negeri. Masing-masing Negara memiliki politik dan kebijakan luar negeri yang particular, walaupun barangkali sejumlah Negara memiliki kemiripan.
Kemudian adanya suatu fase revolusi yakni perjuangan Negara baru merdeka agar menjadi Negara independen bebas intervensi asing, maka politik luar negeri diarahkan untuk perbaikan ekonomi. Dan Indonesia berusaha keras untuk menjaga kenetralannya diantara kedua blok yang saling bertikai. Didalam sini politik domestic berperan penting dalam pragmatism politik luar negeri Indonesia, sebagaimana yang dicetuskan oleh Henry Kissinger dan Jack C Plano, dimana politik luar negeri merupakan kelanjutan dari politik domestic. Ini menegaskan pada era revolusi social Indonesia, politik luar negeri juga memainkan peran dalam membentuk dan mempengaruhi kebijakan luar negeri. Dan keberadaan fenomena ini tidak dapat dielakkan dan jika dielakkan, maka yang terjadi adalah pergolakan internal yang mengancam kekuasaan yang sedang berkuasa. Contoh kasus seperti Soekarno vs politik domestic pada era 1960-an.
Politik luar negeri Indonesia adalah transformasi kepentingan nasional. Sedangkan kepentingan nasional bersifat fluktuatif dan dinamis sebagai respon terhadap peristiwa penting dunia. Salah satu peristiwa yang paling momentum adalah kehadiran perang dingin. Namun, saat itu arah politik Indonesia adalah netral dan tidak berusaha membentuk blok ketiga yang ideologinya berlawanan dengan dua blok raksasa Amerika-Uni Soviet. Hal ini sesuai dengan penjelasan Moh. Hatta di depan siding KNIP. Didalamnya beliau menyatakan bahwa politik Indonesia tidak dapat diarahkan oleh blok manapun yang membawa kepentingan nasional masing-masing. Sebaliknya, arah politik luar negeri Indonesia merupakan sinergisitas kepentingan nasional, tujuan nasional dan konfigurasi geopolitik, dan sejarah nasionalnya yang rentan oleh factor internal dan eksternal. Rosenau dan Roeslan Abdulgani, sepakat bahwa politik yang demikian itu adalah merupakan turunan dari politik dalam negeri. Oleh karena itu, manakala kepentingan dalam negeri mengalami pergeseran, tidak menutup kemungkinan arah politik luar negeri akan selamanya bersifat statis. Hanya saja beberapa nilai mengalami daptasi.
Adapun factor internal dan eksternal telah mempengaruhi karakteristik politik luar negeri pada setiap periode pemerintahan. Presiden Seoharto telah mewarisi pengalaman domestic akibat keboborokan ekonomi, disintegrasi, dan kudeta politik sehingga politik luar negeri Indonesia ketika itu lebih terkonsentrasi pada pemulihan ekonomi dan kepemimpinan politik. Memasuki fase ketiga rezim Soeharto mengakhiri kekuasaannya, adapun hubungan diplomatic antara Cina dan Indonesia mengalami proses normalisasi mengingat selama kurang lebih tiga puluh tahun, keduanya berada dalam hubungan yang tidak kondusif. Gerbang kerjasama terutama di bidang ekonomi dan perdagangan mulai ditingkatkan dan menjadi symbol bahwa kedua Negara berada pada sebuah babak baru dalam hubungan diplomatic.  Berbeda sekali dengan masa kepresidenan Susilo Bambang Yudoyono. Politik luar negeri pada masa pemerintahan beliau, lebih berfokus pada pemulihan nama baik Indonesia serta peningkatan peran diplomasi Indonesia di organisasi Internasional mengenai berbagai isu-isu internasional sekaligus perbaikan mutu birokrasi. Sehingga peran presiden dalam diplomasi politik menjadi salah satu karakter politik luar negeri Indonesia.
Kepentingan dan tujuan Revolusi Indonesia tidak hanya terbatas pada kepentingan dan tujuan nasional daripada revolusi kemerdekaan Indonesia, tetapi juga pada kepentingan dan tujuan internasional, yaitu membangun dunia kembali dunia baru yang bebas dari dunia sosialis. Hal ini disebabkan karena Indonesia tidak bias terlepas dari perkembangan masyarakat dunia pada umumnya,juga sebgaimana seringa dikatakan bahwa revolusi Indonesia merupakan bagian dari revolusi dunia. Seperti yang telah diketahui bahwa sejarah politik luar Negeri Indonesia dari waktu ke waktu mengalami perkembangan sesuai dengan sejarah pemerintahan yang sedang berkuasa. Hal tersebut lebih bersifat operasional, artinya dalam pelaksanaan menyesuaikan dengan kondisi geopolitim internasional saat itu.
Apabila setiap Negara, dalam entitasnya menetapkan kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia internasional maka kebijakan tersebut sekaligus berfungsi menjelaskan keterlibatannya dalam isu-isu internasional. Kebijakan Negara baik domestic maupun internasional selalu didasarkan pada usaha memelihara dan mewakili kepentingan nasional. Seketika kepentingan nasional itu dibawa keluar maka saat itu pula kepentingan nasioanal dikemas dalam politik luar negeri.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang berlandaskan pancasila, mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara dalam memberikan garis-garis besar mengarahkan kebijakan luar negerinya. Oleh karena itu, kepentingan nasional Indonesia secara eksplisit termuat dalam psal-pasal UUD 1945. Disisni Pancasiala sebagai landasan konstitusional politik luar negeri Indonesia menjadi salah satu variable yang membentuk politik luar negeri Indonesia. Kelima sila pancasila adalah pedoman dsar pelaksanaan kehidupan bernegara dan bangsa yang ideal. Sehingga politik luar negeri sekurang-kurangnya merupakan cermindri pancasila. Kedua landasan ini, bersifat permanen dan tidak dapat digantikan. Adapun pengalaman sejarah menyebabkan UUD 1945 tergantikan oleh UUD 1950 adalah lebih merupakan suatu pergeseran ideology dan cita-cita Indonesia yang saat itu berada di tengah-tengah blok Timur-Barat.[2]
Pencarian bentuk politik luar negeri setelah kemerdekaan pada era revolusi nasional pada masa kepresidenan Soekarno, politik luar negeri dijiwai oleh kekuatan bersenjata dan diplomasi. Kedua cara tersebut dikemudi oleh dua figure yang sama sekali berbeda dan bersaing. Presiden Soekarno menegaskan untuk menyelesaikan konflik dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya dukungan internasional disamping juga mengandalkan kekuatan militer angkatan bersenjata untuk menyelesaikan konflik. Yang kedua, supaya konflik diselesaikan melalui diplomasi. Meskipun esensi kedua cara tersebut pada prakteknya berbeda, tetapi kedua taktik tersebut dinilai saling mendukung dan sinergis.
Berkaitan dengan arah kebijakan politik luar negeri Indonesia, Moh. Hatta menggunakan istilah politik luar negeri Indonesia semestinya bebas aktif dan proses barat-timur bukan lagi menjadi titik temu yang esensial. Pendapat Moh. Hatta ini kemudian dianggap berseberangan dengan cita-cita Soekarno pada waktu itu. Hanya saja, dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia pemahaman terhadap politik luar negeri yang bebas dan aktif, senantiasa didefinisikan kembali sesuai dengan keinginan yang berkepentingan saat itu. Walaupun terdapat perbedaan penafsiran terhadap arti politik luar negeri yang bebas dan efektif, tetapi selalu terdapat asumsi kalau dunia luar yang bersikap memusuhi, atau paling tidak membawa kemungkinan bahaya.
Hakekat politik luar negeri pada era Soekarno, awal tahun 1950-an, Indonesia memperlihatkan diri seperti apa yang menjadi pidato Moh. Hatta, secara fisik sebagai suatu Negara yang tidak memihak kepada salah satu blok yang terlibat dalam perang dingin. Artinya Indonesia sedini mengkin bersikap netral, tetapi bukan berarti Indonesia bekerja secara aktif untuk perdamaian dunia dan peredaan ketegangan internasional. Meskipun Indonesia sering dianggap ekslusif condong ke barat, tetapi Indonesia menolak menyokong Amerika dalam perang Korea.
Jadi Tanggapan Indonesia itu bias ditafsirkan sebagai adanya perasaan takut akan dominasi asing yang baru, yang diakibatkan adanya perasaan baru bebas dari kolonialisme yang bercampur-baur dengan dampak pertentangan perang dingin yang terjadi pada saat itu. Akan tetapi berada di tengah-tengah dua garis jauh lebih sulit dari pada memilih salah satu pihak yang sedang bertikai. Realitas mengatakan siapapun yang berada ditengahnya, cenderung terus-menerus akan tertarik ke salah satu poros.
Politik luar negeri untuk membangun kekuatan ekonomi, dari sini Indonesia mengalami kejayaan pembangunan dan kemajuan ekonomi di Indonesia di masa pemerintahan Soeharto. Politik luarnegeri sepenuhnya di fokuskan untuk pembanguna nasional di berbagai sector. Melalui program Repelita, Indonesia mampu meningkatkan ekonomi dan pembangunan dalam negeri. Pada tahun 1984, Indonesia mengalami kemajuan ekonomi yang sangat pesat dan menjadi Negara pengekspor beras terbesar sehingga mendapat penghargaan dari FAO. Disini Soeharto dianggap berjasa besar dalam menyelesaikan masalah hutang dan pinjama luar negeri ditimbulkan oleh pemerintaha Soekarno. Untuk mengatasi hutang-hutang tersebut.
Secara regional, Indonesia berhasil mendirikan ASEAN yang selain untuk menjalin kerjasama dalam bidang ekonomi, social, budaya dan keamanan juga berfungsi untuk mengakhiri konfrontasi dengan Negara-negara di Asia Tenggara. Soeharto melakukan usaha yang cukup penting dalam sejarah politik luar negeri RI saat itu. Keberhasilan dalam membentuk ASEAN berdampak positif bagi pengakuan dunia internasional terhadap eksistensi Indonesia sebagai Negara berkembang yang berhasil mencetuskan organisasi regional yang cukup penting secara internasional.
Sebelum bergabung dengan ASEAN hamper semua politik luar negeri Indonesia pada saat itu menyimpang dari kebijakan politik luar negeri bebas aktif. Hal itu membuktikan bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara yang pragmatis. Indonesia akan menjalin kerjasama dengan Negara-negara yang akan mendukung kepentingan nasionalnya. Di sisi lain, Indonesia juga menjalin hubungan dengan Uni Soviet guna memperoleh senjata dan peralatan militer untuk melawan belanda. Dalam kedaan seperti itu, Indonesia harus waspada agar pengaruh kedua Negara tersebut tidak sampai berimbas negative bagi urusan dalam negerinya.
Dan bagaimanapun juga, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Soekarno pada saat itu dapat menjadi salah satu pembelajaran bagi perkembangan politik luar negeri Indonesia. Penyimpangan-penyimpangan yang pernah terjadi setidaknya tidak pernah diulangi lagi, karena setiap tindakan yang dilakukan dapat berdampak negative bagi Indonesia pada nantinya. Dengan demikian, diharapkan dinamika politik luar negeri Indonesia menjadi lebih terarah dan teratur, sehingga akan mempermudah tercapainya kepentingan yang diperjuangkan.




[1] Mr. Soenario, Tentang Terjadinya Perjanjian Negara, tahun 1946, hal.5
[2] P.H. Djatikoesoemo, Hukum Internasional Bagian Damai, hal. 105

Jumat, 14 Maret 2014

Konflik Perpecahan yang terjadi antara India dan Pakistan

Seperti yang kita ketahui bahwa Asia Selatan merupakan wilayah yang rawan terhadap konflik ketegangan politik. Dan India sebagai Negara terbesar dengan secara geografis telah berpengaruh mengembangkan perbedaan dengan sebagian besar Negara tetangganya yang lebih kecil. Ketegangan-ketegangan cenderung muncul kembali secara periodic dan tidak mengijinkan suasana saling percaya didalamnya. Dengan adanya ketegangan ini, sebuah laporan Uni Eropa menyimpulkan bahwa tingkat resiko politik dalam konteks investasi perdagangan di Asia Selatan termasuk tinggi. Dan dengan adanya laporan ini hanya menampilkan dua anggota SAARC (South Asia Agrement Regional Cooperation) dengan resiko politik terkecil. Yaitu Maladewa dan Bhutan. Negara-negara lain dianggap rapuh, dengan nilai rata-rata stabilitas jauh di bawah rata-rata global.
Aspek-aspek yang perlu dicatat adalah bagaimana ketidakstabilan internal dan eksternal akibat ketegangan dan konflik menimbulkan efek ketidakstabilan politik dan ekonomi. Pada hakekatnya, jalinan konflik intra dan antar Negara telah menunda reformasi ekonomi dan politik dalam negri dan juga menghambat integrasi ekonomi perdagangan regional. Disini saya tulis sebuah penyajian tentang gambaran konflik di wilayah tersebut dengan focus pada periode-periode ketika Negara-negara Asia Selatan sedang membuat upaya untuk meningkatkan pengaturan perdagangan regional. Penting juga untuk dicatat bahwa semua konflik bilateral selama periode ini telah bersifat india-sentris, yang mencerminkan sebagian besar aspirasi hegemonic India dan didukung oleh supremasi militer Negara ini diwilayah itu.

India dan Pakistan
          Menjelaskan hubungan antara India  dan Pakistan dua Negara terbesar di kawasan ini mewujudkan ketidakstabilan regional yang permanen. Ke-dua Negara telah terkunci dalam konflik yang berkepanjangan baik terbuka atau terselubung. Karena perpecahan pada tahun 1947 yang merupakan kendala terbesar untuk integrasi ekonomi regional. Sejak permulaan tahun 1980-an ditandai dengan konflik terselubung dibandingkan dengan konflik aktif. Setelah kalah dalam perang yang menentukan ke India pada tahun 1971 yang mengakibatkan pemisahan Bangladesh dari Pakistan. Namun Pakistan mengambil sikap lebih kalem dan bersedia berkompromi tentang Kashmir yang memungkinkan kedua Negara untuk mengatasi masalah ekonomi dan perdagangan. Dengan cara berbagai upaya diplomatic akhirnya mendorong terbentuknya SAARC pada tahun 1985.
Namun didalam permasalahan ini karena adanya watak dasar yang keras dengan di dorong oleh dinamika agama dan militer dalam sejarah menyebabkan penurunan yang signifikan dalam hubungan tersebut pada akhir 1980-an. segera setelah itu Pakistan mulai memberikan dukungan politik dan militer kepada pemberontak. Dukungan tersebut terus membuat kedua belah pihak berselisih sepanjang 1990-an. India terus-menerus menyalahkan Pakistan atas kerusuhan di Kashmir dengan menuduh memberikan pelatihan dan mengirimkan agen untuk bergabung dengan pelaku pemberontakan.
          Masalah keamanan antara Pakistan dan India mencapai puncaknya pada tahun 1998 ketika kedua belah pihak melakukan uji coba senjata nuklir. Yang kemudian memperkenalkan dimensi yang sangat stabil dengan paradigm keamanan. Pada tahun 1999, Pakistan dan India terlibat dalam konfrontasibersenjata di wilayah Kargil, Kashmir. Meskipun konflik berakhir di jalan buntu, Kargil menandai konflik pertama antara dua Negara yang memiliki senjata nuklir dan membawa banyak orang untuk menyadari potensi bencana nuklir. Ketegangan terjadi pada tahun 2002 ketika India meenyalahkan Pakistan karena telah merekayasa serangan teroris pada parlemen India. Kedua belah pihak menemukan diri mereka di tengah-tengah kebuntuan selama 10 bulan dengan mengumpulkan jutaan tentara di perbatasan India Pakistan, suatu bentuk membuat mobilisasi militer terbesar dalam wilayah ini. Mengingat tekanan internasional yang sangat kuat pelucutan senjata akhirnya ercapai sebelum konflik meningkat lebih tidak terkendali.

          Ditengah ketegangan tersebut, Pakistan dan India telah melakukan beberapa upaya untuk memulai proses perdamaian guna menyelesaikan perselisihan diantara mereka. Inisiatif pertama dilakukan sebelum adanya perang Kargil pada tahun 1999, ketika dimana kedua belah pihak telah menandatangani “Deklarasi Lahore”, dan pada tahun 2001 ketika presiden Pakistan Parvez Musharraf membuat sebuah upaya yang gagal untuk memprakarsai upaya perdamaian. Proses perdamaian merupakan upaya terbaru oleh kedua belah pihak untuk melakukan perbaikan hubungan. Sementara upaya saat ini telah berlangsung lebih insentif dibandingkan era sebelumnya yang tetap saja ketegangan India-Pakistan masih tinggi. Semua berakar pada kecurigaan atara kedua belah pihak yang tidak berubah dan masalah yang luar biasa besar yang belum terpecahkan. Bahkan jika tawaran perdamaian saat ini tetap diupayakan, pasti akan membutuhkan puluhan tahun sebelum Pakistan dan India mulai saling percaya.

Perlambatan dan Resiko Ekonomi Global

Nama : Ainun Nuronniyyah
NIM : 201210360311157
Jurusan/Kelas : HI / C
Merespon Perlambatan dan Resiko Ekonomi Global
Krisis keuangan global yang bermula dari krisis kredit perumahan di Amerika Serikat membawa implikasi pada kondisi ekonomi global secara menyeluruh. Hampir di setiap negara, baik di kawasan Amerika, Eropa, maupun Asia Pasifik, merasakan dampak akibat krisis keuangan global tersebut. Dampak tersebut terjadi karena tiga permasalahan, yaitu adanya investasi langsung, investasi tidak langsung, dan perdagangan.
Pemerintah Indonesia optimistis akan mampu mengatasi dampak krisis keuangan dunia. Pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen dan keberhasilan penerapan kebijakan di bidang ekonomi yang lain serta pemberantasan korupsi diyakini sebagai fundamental perekonomian negara yang kuat. Pemerintah juga telah mengeluarkan tiga peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu), yaitu: Perpu No 2/2008 berisi tentang Perubahan Kedua UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU tentang Bank Indonesia. Kedua, Perpu No 3/2008 berisi mengubah nilai simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan. Dan ketiga, Perpu No 4/2008 berisi tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Ketiga peraturan darurat tersebut dikeluarkan untuk mengantisipasi ancaman krisis keuangan global.
Berbagai upaya juga telah diambil. Mulai dari pencairan anggaran belanja departemen untuk membantu likuiditas keuangan di masyarakat, dan mengutamakan program untuk rakyat dengan melindungi kemungkinan dampak krisis. Caranya dengan memastikan semua program pengentasan kemiskinan tersalurkan dan meningkatkan program-program untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam menghadapi krisis keuangan dan resesi ekonomi global, memang dibutuhkan ketenangan semua pihak agar dapat senantiasa berpikir rasional untuk mencarikan jalan dan solusi. Meskipun tidak seluruh masalah berada di jangkauan wilayah kebijakan dan wewenang pemerintah, partisipasi dan peran serta semua pihak dalam mengatasi dampak krisis keuangan global mutlak dibutuhkan.
Perekonomian Indonesia pada tahun 2012 menunjukkan kinerja yang cukup menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi tahun 2012 diperkirakan dapat mencapai 6,3 persen dan selanjutnya ditahun 2013 diperkirakan meningkat dikisaran 6,3 hingga 6,7 persen. Pertumbuhan tersebut didorong oleh kuatnya permintaan domestik yang ditopang konsumsi rumah tangga dan investasi.
Tekanan inflasi dalam tahun 2012 dan 2013 diperkirakan masih cukup rendah yakni 4,5 plus minus satu persen. Hingga akhir tahun 2012, nilai tukar rupiah bergerak sesuai kondisi pasar dengan intensitas depresiasi yang menurun. Namun pada awal tahun 2013, rupiah melemah akibat neraca perdagangan kita yang defisit. Dari sisi kinerja perbankan hingga Desember 2012 tetap terjaga dengan penyaluran kredit yang cukup tinggi, seiring tren perkembangan ekonomi yang terus meningkat. Per oktober 2012, kredit tumbuh 22,40% dari Rp 2.028,14 triliun per Oktober 2011 menjadi Rp 2.482,52 triliun per Oktober 2012.
Pertumbuhan itu mengangkat rasio antara kredit dan DPK (loan to deposit ratio/LDR) dari 81,03% per Oktober 2011 menjadi 83,78% per Oktober 2012. Dengan demikian LDR perbankan nasional sudah melewati LDR minimal 78% sebagaimana disyaratkan Bank Indonesia untuk menggeber kinerja kredit pada kisaran LDR 78-100%. Dengan LDR minimal 78% berarti ketika suatu bank dapat menghimpun DPK Rp 100 triliun, bank tersebut wajib menyalurkan kredit minimal Rp 78 triliun.
Rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) berada jauh di atas minimum 8% dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Dengan kondisi perekonomian yang terus tumbuh, terutama konsumsi domestik yang kuat, menyebabkan adanya kegiatan ekonomi sehingga perbankan Indonesia masih memiliki ruang untuk memperkuat laju pertumbuhan kinerjanya. Meski demikian, kinerja perbankan nasional masih beroperasi dalam kondisi yang tidak efisien dimana besaran rasio net interest margin selalu berada diatas 5% yang merupakan angka tertinggi di kawasan Asia. Hal ini menyebabkan sektor perbankan belum optimal berperan sebagai agent of growth bagi perekonomian nasional. Dengan kondisi fundamental yang cukup baik ini, ketahanan ekonomi ditahun 2013 diperkirakan masih cukup kuat.


PENERAPAN DEMOKRASI DELIBERATIF DALAM SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

AINUN NURONNIYYAH
201210360311157
Sistem Politik Indonesia / B
JUDUL : PENERAPAN DEMOKRASI DELIBERATIF DALAM SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA.
Pendahuluan
Indonesia saat ini memasuki fase yang disebut dengan “liberalisasi politik awal”. Inilah fase yang ditandai oleh serba ketidakpastian dan karenanya dinamai secra teoritis oleh O’Donnell dan Schimitter kurang lebih sebagai fase “transisi dari otoritarianisme entah menuju ke mana”. Liberalisasi politik awal pasca reformasi ditandai antara lain oleh redifinisi hak-hak politik rakyat. Daftar hak yang mana sebelumnya begitu pendek, dalam fase ini telah memanjang secara dramatis. Setiap kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang selama bertahun-tahun diberangus oleh rezim otoriter. Sebaliknya, hampir tak ada kalangan yang peduli kepada kewajiban-kewajiban politik mereka. Dalam kerangka ini terjadilah luapan kebebasan. Kehidupan politik warga ditandai oleh naiknya kebebasan sebagai suasana dan tuntutan umum di tengah masyarakat. Dari sini lalu memunculkan ledakan partisipasi politik. Ini merupakan konsekwensi logis pengekangan partisipasi politik yang berlebian selama Orde Baru berkuasa. Ledakan partisipasi politik terjadi dalam bentunya yang beragam. Pada tataran massa akar rumput, ledakan partisipasi politik banyak mengambil bentuk huru hara, kekerasan massa, dan amuk.
Suasana politik yang penuh ketidakpastian ini perlu mendapat jalan keluar yang satu sisi tidak mengembalikan kepada situasi anti-demokrasi, tetapi pada sisi lain ledakan partisipasi rakyat mendapat saluran demokrasi secara sistemik. Berbagai perubahan radikal memang telah dilakukan oleh bangsa ini. Kehidupan demokrasi diwujudkan dalam bentuk kebebasan mendirikan partai politik, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, bahkan sekarang sedang berlangsung pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung pula. Tetapi di tengah semerbaknya aroma demokrasi, muncul pertanyaan-pertanyan kritis : Apakah pertasipasi rakyat telah betul-betul mewujud dalam konfigurasi politik real Indonesia? Atuakah partisipasi itu hanya menjadi komoditas politik paling laris dikalangan elit politik? Apakah memang betul-betul telah terbentuk ruang publik (public sphere) untuk membentuk diskursus bersama? Ataukah yang terjadi adalah demokrasi semu (psudeo-democracy) karena pada hakekatnya yang menentukan kebijakan dalam negeri ini melulu para elite? Lantas peran rakyat di mana?
Itulah sekian pertanyaan kritis yang mendorong tulisan sederhana ini disajikan. Dengan menggunakan perspektif demokrasi deliberatif milik JÇ–rgen Habermas seorang ilmuwan sosial kritis madzab Frankfurt.
Dalam demokrasi deliberatif, kebijakan-kebijakan penting (perundang-undangan) dipengaruhi oleh diskursus-diskursus “liar” yang terjadi dalam masyarakat Di samping kekuasaan administratif (negara) dan kekuasaan ekonomis (kapital) terbentuk suatu kekuasaan komunikatif melalui jaring-jaring komunikasi publik masyarakat sipil.


















JÇ–rgen Habermas dan Demokrasi Deliberatif
JÇ–rgen Habermas lahir pada tanggal 18 Juni 1229 di propinsi Rheinland-Westfalen Jerman Barat, dan menjadi besar di Gummersbach, sebuah kota menengah. Kontras antara suasana keluarga yang borjois-Protestan dengan lingkungan masyarakat yang Katolik sehingga Habermas peka terhadap ketegangan-ketegangan dalam masyarakat. Habermas bertolak dari teori kritis masyarakat Marx Horkheimer dan Theodor W. Adorno, ia mau “mengembangkan gagasan sebuah teori masyarakat yang dicetuskan dengan maksud praktis”. Walau pada akhirnya ia menolak beberapa aspek dari teori mereka khususnya tentang pesimisme budaya Horkheimer dan Adorno. Yang khas dari Habermas adalah ia mengembangkan pemikirannya dalam diskursus yang terus menerus dengan pemikir-pemikir lain : Karl Marx, Max weber, Emile Durkheim, Goerge-Herbert Mead, Georg Lukacs, Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno. Yang berseberangan dengan Habermas : Karl Popper, Niklas Luhman, Herbert Marcuse, Sigmund Frued, Gadamer, John L. Agustin, Talcott Parson dan Hannah Arendt. Semuanya telah membantu Habermas dalam menjernihkan apa yang dicarinya. Dan ada satu lagi yang sangat berpengarh dalam pemikiran Habermas, yaitu Immanuel Kant, karena pada hakekatnya ia adalah Kantian par exellence.  Salah satu karya Habermas yang banyak mengupas tentang demokrasi deliberatif adalah Faktizitas und Geltung, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris : Between Facts and Norms : Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy. Buku telah menjadi bukti komitmen Habermas terhadap negara hukum demokratis. Faktizitas und Geltung lahir dari asumsi Habermas bahwa “negara hukum tidak dapat diperoleh maupun dipertahankan tanpa demokrasi radikal”.[1] Dalam demokrasi deliberatif, negara tidak lagi menentukan hukum dan kebijakan-kebijakan politik lainnya dalam ruang tertutup yang nyaman (splendid isolation), tetapi masyarakat sipil melalui media dan organisasi yang vokal memainkan pengaruh yang sangat signifikan dalam proses pembentukan hukum dan kebijakan politik itu. Medan publik menjadi arena di mana perundangan dipersiapkan dan diarahkan secara diskursif.
Kata “deliberasi” berasal dari kata Latin deliberatio yang artinya “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau “musyawarah”. Demokrasi bersifat deliberatif, jika proses pemberian alasan atas sesuatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik atau lewat – dalam kosa kata teoritis Habermas – “diskursus publik”.[2] Tentu saja demokrasi deliberatifnya Habermas adalah hasil ketegangan kreatif (creative tention) yang panjang dalam sejarah pemikiran tentang hukum, negara dan demokrasi. Paling tidak ada dua tradisi kenegaraan modern yang menjadi representasi dari creative tention ini yaitu tradisi liberal yang bermula dari John Locke dan tradisi republiken yang meneruskan paham kenegaraan Rousseau. Tradisi liberal memandang hukum dan negara secara utilitaristik sebagai lembaga-lembaga yang perlu untuk menjamin kebebasan-kebebasan warga masyarakat. Negara bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan lembaga yang menciptakan kondisi keamanan yang diperlukan agar warga masyarakat dapat hidup dan berusaha dengan bebas. Sebaliknya Rousseau memandang hukum sebagai ekspresi kehendak umum, kehendak suci rakyat. Mengabdikan diri pada negara adalah tugas suci. Republikanisme menegaskan bahwa negara tidak dapat mantab kalau hanya dianggap sebagai sarana pelayanan kebebasan individual. Negara berhak menuntut komitmen dan pengorbanan dari warga negara.[3]
Negara dan Demokrasi
Berbagai konflik dan amuk massa yang terus menggejala dari awal reformasi sampai hari ini dengan berbagai motif dan tujuan, dari perspektif Habermas, tidak cukup diatasi dengan solidaritas antar warga bangsa. Integrasi sosial, kata Habermas, tidak dapat dicapai tanpa hukum, tidak pula dengan kekuatan kekuasaan administratif (negara). Dengan adanya hukum, masyarakat memiliki kerangka kelakuan yang dapat diikuti begitu saja tanpa harus terus menerus.
Hukum menyediakan kerangka dimana warga dapat memperjuangkan kepentingannya masing-masing secara sah, dan orang tidak harus, sebagaimana diandaikan dalam negara moral ala Rousseau, selalu bertindak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan moral tinggi. Cukup ia berpegang pada hukum dan ia dapat hidup dan berusaha dengan damai. Tertapi hukum di sini adalah hukum yang kokoh dan legitimate.
Kultur dan struktur hukum Indonesia masih lemah, begitu kata banyak kalangan dikala memotret fenomena pelanggaran hukum yang kian semarak di negeri ini, sehingga konstruk hukum Indonesia tidak kokoh dan legitimate. Menurut Hebermas, inilah yang membuat hukum tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hukum di Indonesia, sebagainana yang telah dibayangkan Habermas, adalah hukum yang sangat ambigu, karena rentan terhadap pengaruh lobby dan rekayasa tingkat tinggi oleh kekuasaan tentunya.
Sistem pemerintahan Indonesia, sebagaimana negara demokrasi lainya, menganut sistem sparation of power atau pembagian kekuasaan antar lembaga tinggi negara, yaitu kekuasan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan sistem demikian dimungkinkan adanya checks and balances antar kekuasan tersebut dan konsentrasi kekuasaan dapat dicegah. Tetapi yang masih sulit dijamin dalam sistem itu adalah sejauh mana interaksi politik antar lembaga tinggi itu terpengaruh oleh arus besar suara rakyat alias apakah rakyat mempunyai akses yang cukup untuk turut meramaikan dinamika diskursus yang sedang digagas oleh ketiga pemegang kekuasaan itu. Apakah bukan yang terjadi adalah mereka yang memegang kekuasaan “hanya” mengurusi kepentingan diri mereka sendiri karena memang jaring-jaring politik yang menghubungkan antara rakyat dengan pusat-pusat kekuasaan belum terbentuk. Inilah problem utama dalam reformasi politik hukum politik hukum Indonesia secara fundamental dan paradigmatik.
Sebagaimana telah disinggung di muka, menawarkan model demokrasi yang memungkinkan rakyat terlibat dalam proses pembuatan hukum dan kebijakan-kebijakan politik. Itulah demokrasi deliberatif yang menjamin masyarakat sipil terlibat penuh dalam pembuatan hukum melalui diskursus-diskursus. Tetapi bukan seperti dalam republik moral Rousseau di mana rakyat langsung menjadi legislator, maka dalam demokrasi deliberatif yang menentukan adalah prosedur atau cara hukum dibentuk.[4]
Dalam demokrasi deliberatif, kebijakan atau hukum yang akan dibentuk dipengaruhi oleh diskursus-diskursus yang terus-menerus (baca : mengalir) di dalam masyarakat. Di samping kekuatan Negara dan kekuatan kapital terbentuk kekuasaan komunikatif melalui jaringan-jaringan komunikasi publik masyarakat sipil. Kekuasaan komunikatif masyarakat sipil dimainkan melalui media, pers, LSM, Organisasi massa dan lembaga-lembaga lain yang seolah-olah dalam posisi mengepung sistem politik, sehingga negara dan perangkat kekuasaannya terpaksa responsif terhadap diskursus-diskursus masyarakat sipil.[5] Sebaliknya masyarakat sipil bisa mengembangkan kekuasaan komunikatifnya karena dalam negara hukum demokratis kebebasannya untuk menyatakan pendapat terlindungi. Kekuasaan komunikatif masyarakat sipil tidak menguasai sistem politik, namun dapat mempengaruhi keputusan-keputusannya.
Adalah sangat berbahaya jika negara (kekuasaan legislatif) dalam merumuskan hukum dan kebijakan-kebijakan politik penting lainnya bersikap otoritarian dan eksklusif. Affan Ghaffar telah membuat perbandingan antara dua model pembentukan agenda (agenda setting) dalam proses pembuatan undang-undang, yaitu model autoritarian dan demokratis (demokrasi deliberatif?). Model pertama, yang terlibat dalam pembangunan hukum adalah para elit utama plus pimpinan partai politik dan sejumlah tokoh militer (dalam beberapa kasus plus pengusaha kaya). Oleh karena itu, orientasi hukumnya tentu saja bersifat elitis dan cenderung membela kepentingan mereka sendiri. Di samping itu karakteristik lain yang menonjol adalah bersifat conservative, mempertahankan status quo. Sebaliknya, model kedua mensyaratkan keterlibatan masyarakat yang sangat tinggi karena diakuinya pluralisme politik di mana kelompok-kelompok di dalam masyarakat baik yang tergabung di dalam partai politik ataupun tidak (pressure groups, interest groups, media, dan lain-lain), termasuk juga LSM. Oleh karena itu produk hukumnya adalah bersifat populis dan progressive.
Persoalannya adalah bagaimana menjamin penguasa selalu tanggap alias responsif terhadap kehendak rakyat. Dalam hal ini Robert Dahl dalam bukunya Polyarchy : Partisipation and Opposition, memberi ulasannya tentang apa yang harus dijamin oleh penguasa/pemerintah agar rakyat diberi kesempatan untuk : pertama, merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri; Kedua, memberitahukan perihal preferensinya itu kepada sesama warga negara dan kepada pemerintah melalui tindakan individual maupun kolektif; dan ketiga, mengusahakan agar kepentingannya itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak didiskriminasikan berdasarkan isi atau asal-usulnya.[6]
Selanjutnya, kesempatan itu hanya mungkin tersedia kalau lembaga-lembaga dalam masyarakat bisa menjamin adanya delapan kondisi, yaitu ; pertama, kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi; kedua, kebebasan mengungkapkan pendapat; ketiga, hal untuk memilih dalam pemilihan umum; keempat, hak untuk menduduki jabatan publik; kelima, hak para pemimpin untuk bersaing memperoleh dukungan suara; keenam, tersedianya sumber-sumber informasi; ketujuh, terselenggaranya pemilihan umum yang bebas dan jujur; dan kedelapan adanya lembaga-lembaga yang menjamin agar kebijaksanaan publik tergantung pada suara pada pemilihan umum dan pada cara-cara penyampaian prefrensi yang lain.[7]
Maka sumbangan Habermas dalam pembangunan sistem politik dan pemerintahan Indonesia saat ini menemukan titik signifikansinya, khususnya dalam upaya melakukan reformasi hukum yang sangat penting untuk mengokohkan pilar-pilar demokrasi di negeri ini. Untuk selanjutnya akan dibahas bagaimana mengontrol kekuasaan melalui pembentukan ruang publik (public sphere), sehingga masyarakat bisa melakukan tindakan-tindakan diskursif dalam posisinya sebagai oposisi atas kekuasaan yang ada.
Pemerintah dan Ruang Publik
Dominasi negara atas masyarakat adalah ciri utama Orde Baru. Pengawasan negara atas masyarakat berjalan secara ekstensif. Campur tangan pemerintah ada di seluruh wilayah kehidupan sehari-hari. Kepala Desa diangkat sebagai klien negara yang mengontrol dan memantau hampir seluruh kegiatan masyarakat.[8] Untuk melamar pekerjaan, seorang warga perlu mandapat rekomendasi dari pejabat militer dan sipil. Hal serupa diperlukan pula untuk menikah, memasuki sekolah, pindahan dan lain-lain.   Birokrasi militer maupun sipil era Orde Baru mengontrol masyarakat dengan berbagai cara. Dominasi dan tekanan negara membuat organisasi otonom dalam masyarakat sulit berkembang. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ruang publik bagi masyarakat Indonesia untuk mengembangkan diskursur-diskursus yang diperlukan dalam masyarakat demokratis nyaris tidak tersedia, karena yang selalu ada adalah kontrol dan tekanan.
Setelah Orde Baru runtuh, gelombang euforia politik menuntut terbukanya ruang publik dalam kontelasi politik Indonesia. Yang muncul kemudian bukannya ruang publik, tetapi ruang elit, dengan kata lain liberalisasi muncul untuk digunakan sekadar mewadahi syahwat politik kaum elit untuk bertarung di wilayah kekuasaan. Orde Baru memang sudah runtuh, dominasi atas masyarakat sudah runtuh pula, tetapi kebebasan yang ada hanya menjadi ruang pertarungan elit politik untuk meraih dominasi politiknya. Dan masyarakat mayoritas pun tidak mendapat kue kebebasan itu.
Meretas problem hegemoni elit di atas, demokrasi deliberatifnya Habermas, menawarkan “titik-titik sambungan komunikatif” diantara negara, pasar dan masyarakat yang selama ini diblokade oleh kepentingan-kepentingan elit. Kekuatan yang menerobos saluran-saluran komunikasi yang tersumbat itu adalah proses-proses diskursif di dalam apa yang disebutnya “ruang publik politik”.[9]
“Tidak ada demokrasi tanpa ruang publik yang kritis!” Pernyataan itu kiranya tidak berlebihan, terutama jika sadar pentingnya peran partisipasi masyarakat keseluruhan didalam proses pengaturan politik dan ekonomi yang adil.
Partisipasi masyarakat yang kritis tersebut dapat menemukan salurannya didalam konsep ruang publik. Memang, ruang publik ini bukanlah konsep khas dari teori demokrasi modern, tetapi sudah ada sejak dahulu, namun perkembangan kesadaran masyarakat akan kontrol terhadap negara semakin menunjukkan betapa penting ruang publik ini dijaga fungsi kritisnya.
Publik adalah warga negara yang memiliki kesadaran akan dirinya, hak-haknya, kepentingan-kepentingannya. Publik adalah warga negara yang memiliki keberanian menegaskan eksistensi dirinya, memperjuangkan pemenuhan hak-haknya, dan mendesak agar kepentingan-kepentingannya terakomodasi. Sehingga publik bukanlah kategori pasif, melainkan aktif. Publik bukan kerumunan massa yang diam.[10]
Ruang publik adalah tempat bagi publik untuk mengekspresikan kebebasan dan otonomi mereka. Ruang publik bisa berwujud kebebasan pers, bebebasan berpartai, kebebasan berakal sehat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berunjuk rasa, kebebasan membela diri, kebebasan membela komunitas, otonomi daerah, independensi, dan keadilan sistem hukum.[11] Konsep ruang publik politik dalam filsafat politik Habermas banyak mendapat inspirasi dari konsep tindakan politiknya Hannah Arendt dalam bukunya The Human Condition. Tetapi Habermas mengkritik Arendt bahwa konsep politiknya terlalu sempit. Kekuasaan – seperti kata Arendt – “terjadi di antara manusia-manusia, jika mereka bertindak bersama, dan lenyap jika mereka bubar”. Kekuasaan komunikatif itu terbentuk dalam forum-forum diskusi publik, dalam gerakan-gerakan sosial, dan juga di dalam DPR/MPR saat legislasi hukum. Di samping itu, menurut Habermas, Arendt tidak sensitif terhadap kemungkinan adanya manipulasi komunikasi di antara mereka yang mengaku berjuang demi kedaulatan rakyat dan HAM. Menurut Habermas, kekuasaan komunikatif itu baru terbentuk lewat pengakuan faktual atas klaim-klaim kesahihan yang terbuka terhadap kritik dan dicapai secara diskursif. Dengan kata lain, legitimitas suatu keputusan publik diperoleh lewat pengujian publik dalam proses deliberasi yang menyambungkan aspirasi rakyat dalam ruang publik dan proses legislasi hukum oleh lembaga legislatif dalam sistem politik.[12]
Ruang publik dalam pemikiran Habermas bertujuan untuk membentuk opini dan kehendak (opinion and will formation) yang mengandung kemungkinan generalisasi, yaitu mewakili kepentingan umum. Dalam tradisi teori politik, kepentingan umum selalu bersifat sementara dan mudah dicurigai sebagai bungkus kehendak kelompok elit untuk berkuasa. Generalisasi yang dimaksud Habermas sama sekali bukan dalam arti statistik, melainkan filosofis karena bersandar pada etika diskursus. Upaya untuk merevitalisasi ruang publik terletak pada upaya pembentukan konsensus rasional bersama, daripada memanipulasi opini masyarakat umum demi kepentingan kekuasaan ataupun peraihan keuntungan finansial semata. Untuk itu, ia membedakan dua macam opini publik, yakni sebagai opini publik yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik dan ekonomi, dan opini publik yang dapat dimanipulasi untuk mendukung orang-orang, institusi, ataupun ideologi tertentu, yang notabene ini bukanlah opini publik sama sekali.[13]
Ruang publik memiliki fungsi yang sangat besar didalam masyarakat demokratis, yakni sebagai ruang dimana opini publik yang otentik, yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik maupun ekonomi demi mencapai keseimbangan dan keadilan sosial, dapat terbentuk dan tersebar luas kepada seluruh warga negara, sekaligus sebagai penekan terhadap segala bentuk manipulasi ruang publik, yang seringkali digunakan untuk membenarkan aspek kekuasaan tertentu, dan itu juga berarti, membenarkan ketidakadilan tertentu.
Dalam kompleksitas masyarakat dewasa ini, menurut Habermas, dapat menyebut rakyat berdaulat, jika negara, yakni lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif, tersambung secara diskursif dengan proses pembentukan aspirasi dan opini dalam ruang publik. Dalam hal ini teori demokrasi deliberatif tidak menganjurkan sebuah revolusi, melainkan suatu reformasi negara hukum dengan melancarkan gerakan diskursus publik di berbagai bidang sosial-politik-kultural untuk meningkatkan partisipasi demokrasi warganegara. Lewat teori ini, jurang yang selama ini menganga diantara para aktifis LSM, pelaku pers, peneliti, intelektual, gerakan mahasiswa, di satu sisi dan sistem politik (legislatif, eksekutif dan yudikatif) di lain pihak ingin dijembatani lewat kanal-kanal komunikasi politis. Hanya dengan menyambungkan ruang publik dan sistem politik ini, menurut Habermas, masyarakat dapat membendung imperatif-imperatif kapitalisme dan desakan birokrasi negara.[14]
Kesimpulan
Quo Vadis Indonesia saat ini? Dengan meminjam teori demokrasi deliberatif-nya Jurgen Habermas pertanyaan itu sedikit terjawab. Indonesia saat ini harus mampu mewujudkan suatu sistem politik dan pemerintahan yang memberi ruang bebas kepada warga negara untuk mengekspresikan kehendak politiknya melalui institusi-institusi publik di ruang publik. Diskusi-diskusi publik harus mendapat tempat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam rangka mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik dan hukum yang dibangun oleh sistem politik. Antara rakyat dan negara terjalin jaringan komunikasi sehingga memungkinkan terjadinya kontrol rakyat atas penguasa negara.
Memang pada akhirnya semua itu membutuhkan tawar menawar antara rakyat dan negara. Ruang publik tidak terwujud jika tidak ada political will dari negara yakni dengan bersikap akomodatif dan responsif terhadap gejala demokratisasi di kalangan rakyat. Sebaliknya rakyat pun harus terus memperjuangkan terjadinya ruang publik itu, kalau perlu dengan merebutnya. Perebutan ruang-ruang publik ini, menurut Eep Saefulloh Fatah, adalah salah satu agenda demokratisasi jangka pendek atau setidaknya menengah.












DAFTAR PUSTAKA
B. Hari Juliawan, “Ruang Publik Habermas : Solidaritas Tanpa Intimitas” , dalam Basis, No. 11-12, tahun ke-53, November-Desember 2004, hlm. 36
Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif : Model untuk Indonesia Pasca-Suharto?, dalam Basis, No. 11-12, tahun ke-53, November-Desember 2004, hlm. 18
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat : Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, 2001), hlm. 245-253
www.bayudardias.staff.ugm.ac.id di akses tanggal 21 nopember 2009 pkul.16.46
Mochtar Pabottinggi, dalam Syamsudin Haris & Riza Sihbudi, 1995, Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mohtar Mas’oed, Negara, Kapital dan Demokrasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 11
.Lihat Unders Uhlin, Oposisi Berserak : Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Rofiq Suhud (pentrj.), (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 44-45
Jurgen Habermas, Theory of Communicattive Action, (Boston : Beacon, 1984), hlm. 75-77
Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan : Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru, (Bandung : Mizan, 2000), hlm. 269-270
F. Budi Hardiman, op.cit., hlm. 19
Jurgen Habermas, op.cit., hlm. 80-83
Mortimer, Indonesian Communism Under Soekarno: ideology and Politics, 1959-1965 (1974)



[1] B. Hari Juliawan, “Ruang Publik Habermas : Solidaritas Tanpa Intimitas” , dalam Basis, No. 11-12, tahun ke-53, November-Desember 2004, hlm. 36
[2] Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif : Model untuk Indonesia Pasca-Suharto?, dalam Basis, No. 11-12, tahun ke-53, November-Desember 2004, hlm. 18
[3] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat : Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, 2001), hlm. 245-253
[4] www.bayudardias.staff.ugm.ac.id di akses tanggal 21 nopember 2009 pkul.16.46
[5] Mochtar Pabottinggi, dalam Syamsudin Haris & Riza Sihbudi, 1995, Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
[6] Mohtar Mas’oed, Negara, Kapital dan Demokrasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 11
[7] pasal 6 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen.
[8] Lihat Unders Uhlin, Oposisi Berserak : Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Rofiq Suhud (pentrj.), (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 44-45
[9] Jurgen Habermas, Theory of Communicattive Action, (Boston : Beacon, 1984), hlm. 75-77
[10] Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan : Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru, (Bandung : Mizan, 2000), hlm. 269-270
[11] F. Budi Hardiman, op.cit., hlm. 19
[12] Jurgen Habermas, op.cit., hlm. 80-83
[13] Mortimer, Indonesian Communism Under Soekarno: ideology and Politics, 1959-1965 (1974)
[14] F. Budi Hardiman, op.cit., hlm. 19

Konflik yang terjadi di Kawasan Asia Selatan

Seperti yang kita ketahui bahwa Asia Selatan merupakan wilayah yang rawan terhadap konflik ketegangan politik. Dan India sebagai Negara terbesar dengan secara geografis telah berpengaruh mengembangkan perbedaan dengan sebagian besar Negara tetangganya yang lebih kecil. Ketegangan-ketegangan cenderung muncul kembali secara periodic dan tidak mengijinkan suasana saling percaya didalamnya. Dengan adanya ketegangan ini, sebuah laporan Uni Eropa menyimpulkan bahwa tingkat resiko politik dalam konteks investasi perdagangan di Asia Selatan termasuk tinggi. Dan dengan adanya laporan ini hanya menampilkan dua anggota SAARC (South Asia Agrement Regional Cooperation) dengan resiko politik terkecil. Yaitu Maladewa dan Bhutan. Negara-negara lain dianggap rapuh, dengan nilai rata-rata stabilitas jauh di bawah rata-rata global.
Aspek-aspek yang perlu dicatat adalah bagaimana ketidakstabilan internal dan eksternal akibat ketegangan dan konflik menimbulkan efek ketidakstabilan politik dan ekonomi. Pada hakekatnya, jalinan konflik intra dan antar Negara telah menunda reformasi ekonomi dan politik dalam negri dan juga menghambat integrasi ekonomi perdagangan regional. Disini saya tulis sebuah penyajian tentang gambaran konflik di wilayah tersebut dengan focus pada periode-periode ketika Negara-negara Asia Selatan sedang membuat upaya untuk meningkatkan pengaturan perdagangan regional. Penting juga untuk dicatat bahwa semua konflik bilateral selama periode ini telah bersifat india-sentris, yang mencerminkan sebagian besar aspirasi hegemonic India dan didukung oleh supremasi militer Negara ini diwilayah itu.

India dan Pakistan
          Menjelaskan hubungan antara India  dan Pakistan dua Negara terbesar di kawasan ini mewujudkan ketidakstabilan regional yang permanen. Ke-dua Negara telah terkunci dalam konflik yang berkepanjangan baik terbuka atau terselubung. Karena perpecahan pada tahun 1947 yang merupakan kendala terbesar untuk integrasi ekonomi regional. Sejak permulaan tahun 1980-an ditandai dengan konflik terselubung dibandingkan dengan konflik aktif. Setelah kalah dalam perang yang menentukan ke India pada tahun 1971 yang mengakibatkan pemisahan Bangladesh dari Pakistan. Namun Pakistan mengambil sikap lebih kalem dan bersedia berkompromi tentang Kashmir yang memungkinkan kedua Negara untuk mengatasi masalah ekonomi dan perdagangan. Dengan cara berbagai upaya diplomatic akhirnya mendorong terbentuknya SAARC pada tahun 1985.
Namun didalam permasalahan ini karena adanya watak dasar yang keras dengan di dorong oleh dinamika agama dan militer dalam sejarah menyebabkan penurunan yang signifikan dalam hubungan tersebut pada akhir 1980-an. segera setelah itu Pakistan mulai memberikan dukungan politik dan militer kepada pemberontak. Dukungan tersebut terus membuat kedua belah pihak berselisih sepanjang 1990-an. India terus-menerus menyalahkan Pakistan atas kerusuhan di Kashmir dengan menuduh memberikan pelatihan dan mengirimkan agen untuk bergabung dengan pelaku pemberontakan.
          Masalah keamanan antara Pakistan dan India mencapai puncaknya pada tahun 1998 ketika kedua belah pihak melakukan uji coba senjata nuklir. Yang kemudian memperkenalkan dimensi yang sangat stabil dengan paradigm keamanan. Pada tahun 1999, Pakistan dan India terlibat dalam konfrontasibersenjata di wilayah Kargil, Kashmir. Meskipun konflik berakhir di jalan buntu, Kargil menandai konflik pertama antara dua Negara yang memiliki senjata nuklir dan membawa banyak orang untuk menyadari potensi bencana nuklir. Ketegangan terjadi pada tahun 2002 ketika India meenyalahkan Pakistan karena telah merekayasa serangan teroris pada parlemen India. Kedua belah pihak menemukan diri mereka di tengah-tengah kebuntuan selama 10 bulan dengan mengumpulkan.. #bersambung :'(